mas prie berposting di samping bunga edelwies di Burni Telong









MENEROPONG KEINDAHAN GUNUNG BERAPI BURNI TELONG

Sabtu 03 januari 2009, waktu menunjukan pukul 14.30 Wib. Suasana di kampong Bandar Lampahan kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah sedikit mendung. Media ini bersama rekan dari tim pencinta Alam Bener Meriah dan bersama pemuda kampong Suka Makmur Kecamatan Wih Pesam, Bener Meriah mencoba berpetualang ke puncak gunung berapi Burni Telong Bener Meriah.

Menggunakan kendaraan roda empat jenis carri media ini dan tim mulai berangkat menuju arah gunung. Melewati jalan yang mendaki dan tikungan yang tajam di kampong Bandar Lampahan kecamatan Timang Gajah, Bener Meriah.

Jalan yang berukuran empat meter denga kontruksi aspal itu disampingnya tampak rerumputan yang menghijau menandakan daerah itu adalah daerah yang subur. Setelah melewati perumahan penduduk di kampong tersebut, di atas sana kami harus mencari air untuk persediaan kami di puncak nanti, tak jauh dari tempat itu terlihat beberapa orang yang sedang bekerja menggali tanah sepertinya akan di gunakan sebagai tempat pemasangan saluran air bersih .

Jam 15.00 kami sampai di sebuah mushola tua yang menurut Agung (24) salah satu tim pencinta Alam Bener Meriah mushola itu sering di gunakan oleh para pendaki gunung sebagai tempat peristirahatan, mushola yang berkontruksi kayu itu tampak sudah usang dan banyak bagian bangunannya yang sudah hilang, seperti bagian jendelanya sudah hilang.

Tak lama kami sampai di mushola itu, hujanpun turun dan kamipun harus beristirahat sementara menunggu hujan reda. Sembari menunggu hujan reda, media ini dan tim duduk di dalam mushola tua itu dan beberapa orang petani yang kebunnya berada di daerah itu.

Sampai waktu menunjukan pukul 16.00 Wib, hujan belum juga reda, namun sudah sedikit reda. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Tim yang berjumlah 8 (delapan) orang dan berbekalkan perlengkapan yang sudah di kemas di dalam tas rangsel masing-masing kami harus menggunakan mantel plastic dadakan sebagai jaket hujan. Sebelum mulai berangkat kami berdoa terlebih dahulu memohon keselamatan kepada Allah SWT.

Perjalanan melewati perkebunan masyarakat kami lalui selama kurang lebih 20 menit. Namun ketika kami sampai di perbatasan antara kebun masyarakat dengan kaki gunung, sepertinya ada banyak kejanggalan yang terjadi di sana. Bagaimana tidak, ternyata perkebunan masyarakat sudah merambah wilayah hutan lindung. Masyarakat setempat sepertinya sudah lama menggarap daerah itu sebagai perkebunan. Batang kopi yang kelihatan tak terawatt itu tampak berdiri tegak di tanah yang posisinya miring itu.

Sedikit jauh di sebelah sana juga terlihat sederet pohon pinus, sepertinya pohn pinus tersenut adalah sisa yang tertinggal dari hutan yang sudah di rambah leh masyarakat di daerah itu. Kalau begitu bagaimana sebenarnya tugas Polhut Bener Meriah kalau hutan lindung masih juga terambah oleh masyarakat.

Tak lama kami berhenti di tempat itu, kamipun segera melanjutkan perjalanan kami menuju puncak gunung. Masuk hutan…waw, ternyata track yang akan kami lalui sangat licin akibat turunnya hujan yang tak kunjung reda. Kamipun harus ekstra hati-hati melewati track itu.

Di tengah hutan itu kami berhenti sejenak untuk beristirahat. Perjalanan melewati hutan menuju puncak merapi burni telong kami lewati selama dua jam perjalanan. Tepat jam 18.05 kami sampai di suatu lembah dan kamipun berhenti lagi. Kaki kami yang belum terbiasa melakukan pendakian seperti itupun mulai terasa pegal.

Sejenak berhenti, kamipun segera melanjutkan perjalanan. Track yang kami lalui tadi sangat melelahkan dan terglng track yang extreme. Pendakiannya sangat terjal dan licin. Di tengah-tengah perjalanan media ini sempat berbincang-bincang banyak dengan teman-teman dari tim pencint alam dan teman-teman yang lain yang sudah sering melakukan pendakian seperti itu.

Menurut salah satu tim pencinta alam, julianto (20) hutan di kawasan itu termasuk masih terjaga kelestariannya. Namun julianto mengakui di daerah kaki gunung tadi memang sudah banyak area hutan yang di rambah oleh masyarakat. Tak terasa, perjalanan menghantar kami sampai ke pinggir lembah menuju puncak.

Melihat track yang akan di lalui ternyata lebih terjal dari track yang di lalui di hutan tadi media ini sempat terpaku sejenak. Tapi tak patah semangat, media ini dan tim kembali melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung berapi burni telong itu. “Tantangan nya sangat extreme juga ya” kata Bas, salah satu pemuda asal kampong Suka Makmur yang juga baru pertama kali melakukan pendakian gunung burni telong itu.

Sampai Adzan magrib berkumandang kami belum juga sampai ke puncak. Saat Adzan berkumandang kami baru melewati separuh track kedua itu. Dengan membawa lampu senter dan sangat hati-hati kamipun melanjutkan perjalanan itu. Suasana saat itu sedang berkabut tebal dan sesekali rintik hujan masih terasa turun membasahi kulit kami.

“kapan kita sampai ke puncak” Tanya media ini kepada tim sambil tertawa melepas lelah. Beberapa waktu kemudian sekitar jam 19.00 Wib, kami memutuskan untuk mendirikan tenda di sebuah tempat yang menurut Unen (23) pemuda asal kampong Suka Makmur yang sudah beberapa kali melakukan pendakian ke gunung burni telong itu tempat itu yang di sebut oleh para traking sebagai goa tempat peristirahatan.

Udaranya sangat dingin, media ini bersama tim semuanya memakai baju tebal (jaket) lebih dari satu. Suasana malam yang dingin itu kami lewati seperti tanpa tidur lelap. “bagaimana kita bisa tidur kalau dinginnya kaya gini,,,ha,,ha,,ha,,” teriak teman kami sambil meniup api yang kami gunakan untuk menghangatkan badan.

Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 00.30 Wib, tak satupun dari kami yang sudah tertidur. Rasa dinginnya seperti menembus tulang, jaket dan kain selimut yang kami bawa dari rumah di atas gunung itu seperti tak berarti. “Tak memberikan kehangatan seperti layaknya di rumah” tutur teman kami lagi.

Tak terasa, adzan subuh pun berkumandang. Kami baru mulai akan terlelap. Rasa dinginnya masih sangat terasa menyentuh tulang kami. Setelah hari terang, tpatnya minggu (4) Desember pagi. Media ini terbangun dari tidur sejenak, ketika membuka tenda tempat kami bermalam itu, waw….. pemandangan yang kami lihat sangat luar biasa, semua pemandangan kabupaten Bener Meriah tampak jelas pagi itu.

Hamparan yang menghijau seolah menyelimuti kabupaten itu. Banyak titik kampong seluruh kampong yang ada di Bener Meriah tampak jelas dari atas gunung berapi Burni Telong saat itu. Menikmati udara sejuk pagi itu, media ini menciba melanjutkan perjslsnsn ke puncak jaya Gunung berapi Burni Telong. Di samping – samping jalan yang kami lewati di tumbuhi tumbuhan-tumbuhan kecil yang berlumut menandakan daerah itu sangat dingin.

Juga yang di sebut-sebut oleh para pendaki bunga abadi yang sampai kini masih terjaga kelestariannya Bunga Edelwies juga masih hidup subur dengan populasinya di sekitar puncak gunung itu. Seperti sebuah taman yang sengaja di buat untuk di tanami bunga edelwies, hamparan nya sangat luas tampak bermacam-macam tumbuhan kecil hidup di sana.

Di puncak Gunung berapi burni telong itu kami juga menemukan lubang pernapasan kawah gunung yang menandakan gunung itu masih aktif. Asap hangat terasa di kulit kami jika kami mengarahkan tangan kami ke lubang arah keluarnya asap itu. Keadaan gunung itu sepertinya sering di kunjungi oleh banyak orang, selain banyaknya bendera merah putih berukuran kecil di kibarkan di sana juga banyak sampah-sampah bekas bungkus makanan yang tertinggal di tempat itu.

Setelah kami sampai tepat di puncak jaya Burni telong, keadaan nya sudah sedikit berubah, sudah banyak yang longsor. Menurut informasi yang di peroleh dari masyarakat, longsor itu terjadi saat gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada 26 desember 2004 lalu. Namun saying keindahan gunung tersebut tidak di manfaat kan oleh pemda Bener Meriah sebagai tempat wisata daerah yang bisa menghasilkan sumber PAD yang sangat besar bagi Bener meriah.

Menurut seorang warga kampong Bandar Lampahan, Ibrahim mengatakan kepada media ini, “setiap ada acara besar seperti tahun baru kemarin ini banyak sekali pendaki gunung dari luar Bener Meriah, yang saya tau ada yang dari Langsa, Lhokseumaweh, dan Bireuen” jelas Ibrahim.

Pemandangan kabupaten Bener Meriah semakin jelas di atas puncak itu. Sayangnya tak lama kami sampai di puncak, kabut tebal datang menyelimuti puncak gunung. Menurut mitos yang beredar di masyarakat, jika seseorang berada di puncak gunung itu, di larang berisik atau rebut. Jika itu di langgar maka dengan segera kabut tebal akan datang menutupi puncak.

Mitos itu sepertinya benar, buktinya ketika kami sampai di puncak jaya gunung itu, kami terlalu gembira dan akhirnya kabut datang. Setelah suasana kabut semakin tebal, kami terpaksa harus turun. Sayangnya lagi kami belum sempat menyaksikan batu yang konon katanya membentuk lafat Allah dengan ukuran yang sangat besar.

Mungkin kesempatan kali ini kami belum di izinkan menyaksikan batu tersebut. Mungkin kesempatan sekali lagi Tuhan akan memberikan kesempatan kepada kami untuk melihat keajaiban alam itu. Amin**********

1 komentar:

supriyadi GAYO sehat mengatakan...

edelwiesnya dong mas...
kapan kita bisa ndaki gunung bareng mas...
si bro